SERANG – Armah, seorang pedagang yang telah mengais rezeki selama hampir 14 tahun di Pasar Ciomas, akhirnya angkat suara. Ia mengungkapkan keresahannya atas kondisi pasar yang menurutnya semakin semrawut dan jauh dari kata tertib. Sebagai saksi hidup sejak awal proses relokasi hingga pembagian kios, Armah merasa pengelolaan pasar kini justru bergerak mundur.
Ia menyayangkan berbagai praktik tidak sehat yang terjadi sejak awal pengisian kios. Oknum-oknum yang dulu memiliki kuasa, baik dari lingkungan pasar maupun pemerintahan desa, disebutnya terlibat dalam praktik jual beli lahan, auning, hingga lapak kaki lima.
“Fasum dan fasos sekarang jadi lahan jualan. Tangga untuk jalan pembeli, trotoar, sampai saluran irigasi ditutup dan dijadikan lapak. Ada yang disewakan, dikontrakkan, bahkan dijual-belikan,” ungkapnya.
Menurut Armah, akibat ulah segelintir orang tersebut, wajah pasar menjadi semrawut dan tidak manusiawi. Ia bahkan menilai pembangunan yang dilakukan selama ini hanya menguntungkan pihak tertentu, bukan untuk kepentingan pedagang.
Namun ia juga mengaku sempat merasakan harapan baru ketika Kepala UPT Pasar Ciomas, Mahyar, menerapkan langkah-langkah penertiban. Salah satunya adalah penyeragaman iuran harian atau salaran yang sebelumnya bisa mencapai puluhan ribu, menjadi Rp 8.000 per pedagang per hari.
“Kami merasa lega, nyaman. Baru jalan sehari, sudah ada petugas resmi, lengkap karcisnya. Tapi belum lama, mulai muncul lagi pungutan liar dari orang-orang yang tidak jelas,” keluhnya.
Kembalinya pungutan liar dari pihak-pihak tak dikenal membuat para pedagang kembali cemas. Armah menegaskan bahwa para pedagang kecil seperti dirinya hanya ingin mencari nafkah dengan tenang, tanpa harus terus-menerus menjadi sasaran penarikan uang.
“Jangan jadikan kami sapi perah. Kami cari rezeki hanya Rp 1.000-2.000, itu pun kalau laku,” ujarnya lirih.
Ia juga menyampaikan protes keras terhadap kepemimpinan HIPPAS (Himpunan Pedagang Pasar) yang menurutnya tidak mewakili aspirasi pedagang karena tidak pernah dipilih secara langsung oleh mereka.
“Kami minta ketua HIPPAS dicopot. Jangan tunjuk orang seenaknya. Biarkan kami yang memilih. Kami tidak tahu uang salaran HIPPAS dipakai untuk apa. Kami cuma tambah terbebani,” ujarnya tegas.
Melalui suara lirihnya, Armah berharap ada perhatian nyata dari pemerintah, baik dari Pemkab Serang, aparat penegak hukum, maupun Presiden Republik Indonesia. Ia menegaskan bahwa pedagang kecil bukanlah beban, melainkan bagian penting dari denyut ekonomi lokal.
“Tolong kami, pemerintah. Kami hanya ingin berjualan dengan tenang, dengan aturan yang adil. Kami bukan penumpang gelap di pasar ini. Kami bagian dari denyut ekonomi lokal yang selama ini justru sering diabaikan,” tutupnya.






