DIKSINEWS.ID, OPINI – Dewasa ini, kita sering dihadapkan dengan pelbagai isu yang mengejutkan dan melibatkan banyak aspek kehidupan, mulai dari hukum, politik, sosial, ekonomi, hingga budaya. Situasi ini tidak bisa dilepaskan dari peran kita sebagai objek dan subjek dalam sistem negara. Misalnya, PTUN Jakarta baru-baru ini mengabulkan gugatan Anwar Usman yang meminta pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2023-2028 dibatalkan. Keputusan ini, sebagaimana dilaporkan oleh Kompas.com, berpotensi mengancam keabsahan pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua MK. Keputusan-keputusan tersebut, seperti banyak keputusan lainnya di negeri ini, tidak bisa dipisahkan dari pertimbangan pribadi dan moralitas individu yang mengambilnya.

Dalam konteks ini, saya teringat akan Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg. Teori ini memberikan panduan untuk memahami bagaimana moralitas seseorang berkembang melalui berbagai tahap, mulai dari kepatuhan terhadap aturan untuk menghindari hukuman hingga pengambilan keputusan berdasarkan prinsip moral universal yang berlaku secara luas. Tahapan perkembangan moral ini dapat membantu kita menganalisis bagaimana kualitas para pemimpin dan pejabat di Indonesia mempengaruhi keputusan yang mereka ambil, serta bagaimana keputusan-keputusan tersebut berdampak pada masyarakat.

Fachrudin Faiz dalam bukunya Filsafat Moral menjelaskan bahwa Kohlberg membagi empat faktor yang mempengaruhi moralitas seseorang. Yang pertama adalah sensitivitas moral. Sensitivitas moral atau kepekaan adalah kemampuan seseorang untuk memahami dampak keputusan mereka terhadap orang lain. Setiap individu dianugerahi kepekaan moral, namun tingkat kepekaan ini dapat bervariasi. Sebagai contoh, ketika pemerintah menaikkan biaya pendidikan, mereka mungkin berpikir bahwa kebijakan ini tidak akan berdampak signifikan terhadap perekonomian keluarga. Padahal, kenyataannya, kebijakan tersebut dapat mengancam masa depan bangsa karena tingginya biaya pendidikan berpotensi membuat banyak anak tidak dapat melanjutkan ke perguruan tinggi. Jika semakin banyak anak tidak melanjutkan pendidikan, peluang masa depan bangsa akan terancam. Kurangnya sensitivitas moral dari pihak pemerintah dalam memahami dampak kebijakan ini menunjukkan bagaimana kepekaan yang rendah dapat mempengaruhi pengambilan keputusan. Apabila mengacau kepada hasil penelitiannya Kholberg, kebijakan ini tak ubahnya seperti kebijakan anak-anak umur 7 tahun.

Contoh lain dari kurangnya sensitivitas moral terlihat ketika banyak organisasi masyarakat (ormas) keagamaan menerima izin tambang dari pemerintah. Mereka mungkin beranggapan bahwa langkah ini akan membawa manfaat ekonomi bagi komunitas tanpa menimbulkan dampak negatif. Namun, kenyataannya, keputusan tersebut dapat memicu berbagai masalah serius seperti kerusakan lingkungan yang tak terelakkan, konflik dengan masyarakat adat yang merasa wilayahnya terancam, serta hilangnya keseimbangan ekosistem lokal. Lebih jauh lagi, keterlibatan ormas dalam bisnis tambang ini kerap menimbulkan konflik kepentingan dan perebutan aset di dalam tubuh ormas itu sendiri. Ketika ormas terjebak dalam dinamika bisnis dan keuntungan ekonomi, perhatian mereka bisa terpecah antara menjalankan misi keagamaan dan mengelola kepentingan ekonomi, yang pada akhirnya mengakibatkan perselisihan internal dan hilangnya kepercayaan publik. Semua dampak ini terjadi Lantaran nihilnya sensitivitas moral.

Faktor yang kedua adalah penilaian moral. Faktor ini berhubungan dengan pemikiran yang jernih, konsentrasi, dan tentunya kecerdasan dalam mengambil keputusan. Ketika dihadapkan pada pilihanpilihan yang masing-masing memiliki dampak dan risiko, kita harus memilih salah satu yang paling maslahat. Tentu saja, ini membutuhkan pertimbangan yang matang dan kecerdasan untuk menentukan mana pilihan yang terbaik. Begitu pula dengan pemerintah ketika menghadapi permasalahan judi online. Mereka memiliki berbagai pilihan: misalnya memburu bandar atau memblokir rekening pengguna. Jika nalar, pemikiran, dan kecerdasan digunakan dengan baik, seharusnya pemerintah memilih kebijakan untuk memburu bandar. Namun, faktanya, judi online tetap terjadi dan malah pemerintah justru memilih opsi yang kedua, memblokir rekening pengguna. Hal ini menunjukkan, jika mengacu pada teori Kohlberg, pemerintah hari ini kurang memiliki kemampuan berpikir secara benar dan tidak mempertimbangkan keputusan dengan matang. Jadi, tidak heran jika banyak permasalahan seringkali tidak terselesaikan di Indonesia.

Contoh lain dari lemahnya nalar dalam pengambilan kebijakan adalah adanya dugaan atau fenomena “kotak kosong” dalam pemilihan kepala daerah di beberapa wilayah. Hal tersebut tidak sejalan dengan sistem demokrasi yang mana pemerintahan dijalankan sesuai kehendak mayoritas. Alih-alih mendorong kompetisi politik yang sehat dan transparan, rakyat justru dipaksa menerima calon tunggal tanpa alternatif yang kapabilitas. Akibatnya, demokrasi yang seharusnya menjadi wadah ekspresi kehendak rakyat, sarana beradu gagasan berubah menjadi formalitas belaka yang hanya melegitimasi kekuasaan, tanpa memberi rakyat kesempatan untuk menentukan masa depan mereka. Pada akhirnya rakyat dipimpin oleh sosok yang tidak tidak tahu cara menyelesaikan masalah bahakan tidak memahami masalah sehingga isu-isu krusial seperti kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, pelayanan publik, dan pembangunan daerah tak terselesaikan. Ketimpangan sosial dan ekonomi pun terus berlanjut tanpa perubahan berarti.

Faktor selanjutnya yang mempengaruhi moralitas seseorang adalah motivasi. Menurut Usman (2013) motivasi adalah dorongan yang dimiliki seseorang untuk berbuat sesuatu. Dalam hal ini tentu kita tahu apa yang kita sebut sebagai kebaikan namun seringkali kita tidak memiliki motivasi untuk berbuat kebaikan tersebut. Begitu pula dengan pemerintah, mereka tahu bahwa kasus meninggalnya bayi di Pandeglang akibat ditandu lantaran jalannya tidak bisa diakses kendaraan adalah permasalahan serius. Namun karena tidak adanya motivasi untuk membenahi, kasus tersebut tetap berulang.

Selain itu, penanganan kasus korupsi di Indonesia adalah contoh nyata dari kurangnya motivasi dalam tindakan pemerintah. Meskipun pemerintah dan lembaga penegak hukum sadar betul bahwa korupsi adalah salah satu perosalan yang wajib diberantas, kenyataannya jauh dari harapan. Lembaga anti-korupsi seperti KPK, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam perjuangan ini, malah secara sistematis dilemahkan. Pihak-pihak tertentu melakukan segala cara untuk mengurangi kekuatan KPK, agar tidak mampu melakukan tugasnya secara efektif.

Ironisnya, kasus hukum saat ini seringkali digunakan sebagai alat politik, seperti “kartu AS” dalam permainan catur kekuasaan. Alih-alih menegakkan keadilan, kasus-kasus ini seringkali dijadikan alat untuk menekan lawan politik atau mempertahankan kekuasaan. Dengan kata lain, hukum yang seharusnya menjadi pilar keadilan, malah menjadi senjata dalam pertarungan kekuasaan. Ini bukan hanya pemlehana sistem, tetapi sebuah pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip moral dan etika yang seharusnya mendasari pemerintahan yang bersih dan adil. Ketidakmampuan dan kurangnya motivasi untuk melawan korupsi secara konsisten mengungkapkan betapa rapuhnya komitmen kita terhadap nilai-nilai keadilan dan integritas di negeri ini.

Faktor terakhir yang mempengaruhi moralitas seseorang menurut Kholberg adalah implementasi moral. Faktor ini adalah gabungan dari sensitivitas moral atau kepekaan, kemudian didukung dengan penilaian moral dan dikuatkan oleh motivasi moral. Berdasarkan teori ini, kita bisa melihat sejauh mana latar belakang dan kondisi psiskologis pejabat dalam mengambil kebijakan. Misalnya, dalam kasus bullying di dunia kedokteran Indonesia, perbedaan respons Universitas Padjadjaran (UNPAD) dan Universitas Diponegoro (UNDIP) mencerminkan penerapan konsep implementasi moral ini. UNPAD, dengan cepat memecat pelaku bullying, menunjukkan kepekaan terhadap dampak bullying, penilaian yang jelas bahwa tindakan tersebut tidak dapat diterima, dan motivasi kuat untuk menegakkan keadilan. Sebaliknya, UNDIP menutupi dugaan kasus tersebut dengan menyatakan bahwa kematian korban bukan karena bullying, yang menunjukkan perbedaan dalam sensitivitas moral, penilaian moral, dan motivasi yang mungkin lebih berfokus pada melindungi reputasi institusi daripada menghadapi masalah dengan transparan. Kedua kasus ini menunjukkan bagaimana implementasi moral dapat berbeda tergantung pada latar belakang, kondisi psikologis, dan prioritas yang mempengaruhi pengambilan keputusan.

Penerapan teori perkembangan moral Kohlberg dalam konteks kebijakan di Indonesia mengungkapkan bahwa keputusan-keputusan yang diambil oleh para pemimpin dan pejabat sering kali dipengaruhi oleh tingkat perkembangan moral mereka. Ketika sensitivitas moral rendah, penilaian moral kurang matang, motivasi moral lemah, dan implementasi moral tidak konsisten, hasilnya adalah kebijakan yang tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga melemahkan tatanan sosial dan keadilan. Oleh karena itu, penting bagi kita sebagai masyarakat untuk terus mendorong pemimpin yang memiliki integritas moral tinggi, kemampuan berpikir kritis, dan keberanian untuk bertindak demi kebaikan bersama, bukan sekadar demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Dengan demikian, kita dapat membangun bangsa yang lebih adil dan bermartabat, di mana kebijakan yang diambil benar-benar mencerminkan prinsip-prinsip moral universal dan kesejahteraan rakyat.

*Penulis merupakan lulusan S1 Teknik Sipil Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta). Aktif sebagai Ketua BEM Fakultas Teknik dan Koordinator Litbang Isu Fakultas Teknik di Lembaga Pers Mahasiswa Bidikutama Untirta.

jasa pembuatan website