Berbicara mengenai manfaat teknologi, rasanya tidak ada yang perlu diperdebatkan. Agaknya semua anggota planet ini sepakat akan hal itu. Di bidang apapun, kedokteran, engineering, lingkungan, bahkan dalam kehidupan sehari-hari, tidak bisa terlepas dari peran dan campur tangan teknologi.
Namun, kemajuan teknologi tidak selalu berjalan mulus. Ia bak pisau bermata dua, bisa membawa manfaat, juga bisa membawa mafsadat. Heidegger, sebagaimana dikutip oleh Idi Subandy Ibrahim (2023) menyebut apa yang diciptakan manusia untuk menguasai dunia, kini menguasai manusia. Pernyataan ini terbukti relevan jika kita lihat bagaimana teknologi digital hari ini dapat menembus hampir semua aspek kehidupan.
Data dari laporan We Are Social tahun 2025, menunjukan terdapat 212 juta pengguna internet di Indonesia, sekitar 74,6 persen dari total populasi (sekitar 143 juta) diantaranya aktif di media sosial (Litbang Kompas, 2025). Angka ini mencerminkan betapa masifnya penetrasi teknologi digital dalam kehidupan sehari-hari. Bersamaan dengan masifnya penggunaan ini muncul pula fenomena baru, brain rot, atau dalam istilah Indonesianya pembusukan otak.
Brain rot adalah istilah populer yang digunakan untuk menggambarkan penurunan fungsi kognitif akibat paparan konten digital berlebihan, terutama video pendek seperti TikTok, Reels, dan YouTube Shorts. Hal ini ditandai dengan kesulitan berkonsentrasi, meningkatnya kecemasan, bahkan depresi (Newport Institute). Kebiasaan mengonsumsi informasi serba cepat ini perlahan mengubah cara otak kita bekerja. Tanpa disadari, kita mulai kehilangan kesabaran terhadap bacaan panjang dan cenderung hanya mencari rangsangan singkat.
Fenomena ini bukan sekadar istilah belaka, bahkan ada sebuah artikel yang menyebut bahwa jika pesan yang disampaikan dalam video lebih dari 25 detik dan tidak menarik dalam tiga detik pertama, maka informasi tersebut akan langsung dilewatkan oleh pengguna. Dalam jangka panjang, hal ini menyebabkan kesulitan mencerna informasi dan bahkan lupa apa saja yang telah kita lakukan sebelumnya.
Psikolog Jati Ariati (Kompas, 2025) mengungkapkan terdapat “teori lupa”, dimana otak cenderung sulit mengingat informasi penting ketika terlalu banyak mengonsumsi informasi yang tidak saling terkait. Akibatnya, proses berpikir kita hanya berhenti pada level lower order thinking seperti mengingat atau memahami secara dangkal, tanpa sampai pada tahap analisis atau evaluasi. Kecanduan media sosial merupakan praktik lower order thinking tersebut, boleh saja kita ingat kembali, setelah sekian lama bermedia sosial, apa yang benar-benar kita ingat? Hampir tidak ada.
Penderita brain rot juga umumnya mengalami penurunan produktivitas. Fokus yang seharusnya bisa terjaga selama beberapa jam dalam bekerja, kini menjadi barang langka. Baru beberapa menit bekerja, tangan sudah refleks mencari ponsel dan membuka media sosial. Hal ini terjadi karena otak sudah ketergantungan terhadap hiburan singkat. Begitu perangkat disentuh, hilanglah fokus, dan tanpa terasa, waktu 10 menit habis untuk berselancar tanpa arah. Masih menurut Jati Ariati, kondisi ini disebut sebagai cyber loving ketika individu merasa terikat secara emosional dengan dunia maya lebih daripada realitas sekitarnya.
Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Ahmed Muhammad Fahmi yang melakukan studi literatur terhadap 381 laporan penelitian tentang brain rot. Hasilnya menunjukkan, banyak perubahan perilaku yang terjadi pada penderita brain rot, mulai dari susah memecahkan masalah, kecanduan media sosial, hingga doom scrolling. Ini adalah bukti bahwa teknologi bisa memberikan efek negatif, bahkan bisa mengubah karakter, dari yang tadinya periang dan gemar bersosialisasi menjadi murung, dari yang tadinya aktif menjadi pendiam.
Bahkan, perubahan perilaku ini bisa memicu tindakan destruktif. pada tahun 2019, sebanyak 101 anak di Kota Surabaya terlibat dalam tawuran dan kenakalan remaja. Sebagian kasus tersebut terjadi lantaran media sosial. Hal ini dilaporkan oleh Wali Kota saat itu, Risma yang menyebut banyak siswa terhasut oleh media sosial untuk melakukan penyerangan hingga terjadilah tawuran. Ini bukti nyata betapa mengerikannya media sosial. Salah sedikit, nyawa taruhannya. Media sosial bukan lagi sekadar hiburan, ia bisa menjadi sumber petaka.
Musibah digital ini apabila dibiarkan dapat mengancam masa depan bangsa. Apalagi kita akan menyambut bonus demografi 2045. Tentu harapannya diisi oleh SDM yang berintegritas, intelektual, dan cerdas, bukan generasi muda yang mengalami gangguan konsentrasi, gangguan memori, serta refleksi diri yang buruk. Untuk itu, sebagai ikhtiar mencegah mafsadat yang lebih banyak, ada baiknya menerapkan aturan sebagaimana negara tetangga membatasi warganya dalam menggunakan ponsel pintar.
Prancis, misalnya, memberlakukan Undang-Undang 2018-698 yang melarang penggunaan smartphone di taman kanak-kanak, sekolah dasar, dan menengah hingga usia 15 tahun. Australia pun menerapkan kebijakan serupa dengan melarang anak-anak di bawah usia 16 tahun menggunakan media sosial. Langkah-langkah ini menunjukkan keseriusan mereka dalam melindungi generasi muda dari dampak seperti kecanduan digital, brain rot dan penurunan kapasitas kognitif.
Melihat keseriusan mereka, Indonesia tidak boleh tinggal diam. Pemerintah harus segera ambil langkah konkret, bisa dengan membuat regulasi yang membatasi penggunaan media sosial bagi anak dan remaja di bawah usia tertentu. Atau, Kementerian Komunikasi segera merealisasikan audit algoritma yang selama ini hanya menjadi wacana. Audit ini penting untuk memastikan bahwa platform digital tidak mendorong pengguna ke dalam spiral konten adiktif yang merusak.
Selain itu, pemerintah juga perlu mendorong literasi digital kritis sejak dini, baik di sekolah maupun di lingkungan keluarga. Dunia pendidikan harus aktif membentuk karakter dan membentengi siswa dari jebakan algoritma. Di sisi lain, penyedia platform juga harus dikenai kewajiban untuk menyediakan fitur kontrol konten dan waktu layar yang mudah diakses serta digunakan oleh orang tua. Namun semua itu tidak akan efektif,
karena pada akhirnya aturan hanyalah aturan, yang paling berperan dalam menjaga agar tidak brain rot adalah diri sendiri. Sudah sepatutnya kita sadar dan bijak dalam menggunakan media sosial.
Kondisi brain rot juga diperparah dengan kebiasaan dalam menggunakan Akal Imitasi. Dampaknya adalah kedangkalan berpikir. Dalam konteks membuat tulisan, kita bisa saja menghasilkan beragam tulisan, sementara kita sendiri tidak paham isi tulisan tersebut. Bagaimana bisa tulisan itu muncul tanpa proses berpikir, menyaring, dan mencerna informasi? Syarat mutlak bagi seorang penulis adalah berwawasan. Suatu hal tidak mungkin apabila isi kepalanya kosong tapi bisa menghasilkan sebuah tulisan. Artinya, pesan yang disampaikan dalam kumpulan kata-kata tersebut bukan pesan penulis, tapi pesan alat bantu.
The Reuters Institute Digital News Report 2025 mengabarkan bahwa hampir 100.000 responden mengaku menggunakan AI untuk meringkas (27 persen) dan menerjemahkan (24 persen) (Kompas, 19 Juni 2025). Meskipun belum ada riset yang pasti, bukan tidak mungkin terdapat dugaan penggunaan AI dalam artikel ilmiah di indonesia.
Dalam salah satu unggahan seorang dosen di media sosial, ia memberikan informasi bahwa ada mahasiswa yang lupa menghapus perintah Chat GPT sehingga prompt tersebut tercetak dalam sebuah makalah saat bimbingan. Mungkin saja tugas bisa selesai, tapi proses pembelajaran tidak. Otak yang tidak dipaksakan untuk berpikir akan sangat mungkin tidak akan berpikir kuat ujar Oki Sutanto dalam laporan Kompas (1 Juli 2025).
Lebih parah lagi, seminar “menulis tanpa mikir” banyak dikampanyekan. Pada beberapa platform digitalnya misalnya, banyak orang atau lembaga yang membuka jasa pelatihan ajaran prompt Chat GPT. “kalau lo cuma buka Chat GPT buat tanya ‘buatkan aku judul skripsi,’ lu rugi besar. Ini 8 Prompt yang bisa bikin nulis skripsi lu cepet, gak pake mumet…”. Kurang lebih begitu narasi yang digaungkan. Ini gila. Bisa-bisanya ada yang mengkampanyekan penghapusan proses berpikir dalam menulis karya ilmiah, dan tragisnya, banyak pula yang ikut. Justru adanya skripsi adalah metode pemakasaan secara langsung untuk berfikir kritis, runut dan ilmiah. Ko bisa ada yang menghilangkan fungi tersebut, berbayar pula. Jika berpikir dianggap merepotkan, lalu apa perbedaan manusia dan makhluk lainya?
Boleh jadi hadirnya fenomena inflasi IPK turut dipengaruhi oleh kemudahan teknologi ini. Nilai A bisa didapat siapa saja. Mahasiswa yang tidak memahami isi tugas tetap bisa dapat skor tinggi berkat bantuan AI. Esensi pendidikan pun hilang. Yang tersisa hanyalah formalitas, nilai bagus, tapi kepala kosong. Efek sederhananya adalah sekadar bikin takarir saja pakai Chat GPT. Lebih ironi lagi, balas pesan agar runut saja pakai ChatGPT. Bukan hanya karakter yang hilang, tapi eksistensi manusia sebagai makhluk berpikir juga ikut lenyap. Apabila tidak berlebihan, Tan Malaka di alam sana menangis melihat fenomena kedangkalan berpikir ini.
Sedikit banyaknya, saya bersyukur bisa lulus S1 sebelum teknologi kecerdasan buatan merajalela. Bukan tidak mungkin juga dalam waktu terdesak saya akan mencari jalan pintas. Tidak ada jaminan bahwa saya bisa selalu kuat. Suatu hal yang pasti mungkin saya meminta bantuan untuk memeriksa yang salah ketik.
Dua persoalan yang ditimbulkan dari efek negatif teknologi di atas akan lebih paripurna apabila ditambahkan kondisi anak muda yang tidak suka menabung. Selain problem berpikir, teknologi juga mendorong konsumsi impulsif. Saya membaca sebuah rubrik opini yang dimuat di Harian Kompas. Penulis berpendapat bahwa sebagian besar anak muda terjebak dalam langganan platform digital. Saya pikir ada benarnya juga. Dalam menulis esai ini, saya dalam kondisi berlangganan salah satu kreator. Per bulan, tidak banyak, cuma 20 ribu. Itu hanya satu platform. Belum dihitung langganan Netflix, Spotify, Disney+, Apple Music, dan lainnya.
Pergeseran pola konsumsi dari kepemilikan menuju member atau langganan merupakan bukti bahwa kita lebih mementingkan kesenangan sesaat daripada harus menabung. Dalam opininya, sedikit banyak penulis menghabiskan uang 500 ribu yang dianggarkan untuk keperluan langganan media sosial dan aplikasi digital.
Bisa dibayangkan bagaimana uang 500 ribu itu apabila ditabung, bisa menjadi dana darurat, atau digunakan untuk pelatihan yang menambah wawasan dan keterampilan. Alih-alih mempersiapkan masa depan, akibat kecanduan dan ketergantungan terhadap media sosial dan perangkat lunak digital, kita harus merogoh kocek hingga ratusan ribu rupiah.
Lengkap sudah roni kita sebagai manusia era digital, dari mulai pembusukan otak, kemalasan dan kedangkalan berpikir, hingga menjadi generasi konsumtif tak kuasa menabung. Apabila meninjau kembali apa yang Heidegger katakan, efek diatas merupakan bukti terkuasainya manusia oleh teknologi.
Sudah seyogianya kita bertanya kembali, bagaimana hubungan kita dengan teknologi? Apakah kemesraannya dapat membawa manfaat, atau sebaliknya? Pintu taubat sangat terbuka. Menimbang kembali penggunaan teknologi dan membelokkan arah masih sangat mungkin dilakukan. Tinggal kita saja sayang terhadap anugerah Tuhan yang bernama otak, atau tidak? Mudah-mudahan kita semua dijauhkan dari derita brain rot, kemalasan dan kedangkalan berpikir hingga perilaku konsumtif terhadap hal yang tidak seharusnya.
*Penulis: Yovi Maulana (Pemerhati Pendidikan dan Sosial)